Diberdayakan oleh Blogger.
Collection free widget, software, S.E.O., web development, and advertising

29 Mar 2010

Wewenang Kepala Daerah


Provinsi Banten memang tengah berbenah, Ibarat seorang bayi, Si Banten ‘kecil’ kini mulai banyak aktifitas, mulai banyak membuat rencana, mulai mampu membangun cita-cita.Perubahan atas Banten kian hari kian menghebat, bahkan dengan lahirnya UU No 32 tahun 2004 yang merupakan revisi UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, justru semakin memberi ruang bagi si ‘kecil’ mengelola pemerintahan di daerah.

Dapat dikatakan, bahwa tujuan pembangunan Propinsi Banten secara umum adalah mewujudkan Masyarakat Banten yang makmur dan sejahtera, berperadaban modern, demokratis, serta bermoral tinggi, dan taat hukum. Tidak bisa dipungkiri, salah satu motor penggerak utama pelaksanaan kerja-kerja pembangunan daerah adalah tersedianya aparatur penyelenggara tugas pemerintahan daerah, tentunya adalah Pegawai Negeri Sipil Daerah. Pegawai Negeri pada dasarnya adalah “Setiap Warga Negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat, yang diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Sedangkan Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah Pegawai Negeri Sipil yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dan bekerja pada Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota atau dipekerjakan di luar instansi induknya. Sebagai unsur aparatur negara, Pegawai Negeri Sipil Daerah Banten harus mampu bertugas sebagai abdi masyarakat dengan memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap Masyarakat Banten. Segenap tindakannya senantiasa dilandasi kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dengan kata lain memiliki tingkat ke’digdayaan’ yang tinggi. Untuk melaksanakan penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara baik dan benar tersebut, diperlukan Pegawai Negeri Sipil yang profesional, bertanggungjawab, jujur dan adil melalui pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karir yang dititik beratkan pada sistem prestasi kerja. Baru kemudian diikuti oleh syarat obyektif lainnya seperti disiplin kerja, kesetiaan, pengabdian, pengalaman, kerjasama dan dapat dipercaya. Rekayasa pembentukan sosok Pegawai Negeri Sipil Banten yang ‘digdaya’ itu, harus diatur dengan perencanaan serta manajemen kepegawaian tingkat daerah yang terukur, sehingga mampu menjadi pegawai yang efisien, efektiv memiliki derajat tinggi dalam profesionalitas penyelenggaraan tugas, fungsi dan kewajiban kepegawaian. Manajeman dilakukan secara sistematik mulai dari perencanaan, pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian, kesejahteraan dan pemberhentian. Tentu saja pembentuk sosok PNS Daerah yang profesional itu adalah Pejabat Daerah yang karena jabatan atau tugasnya berwenang melakukan tindakan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan Pegawai Negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sayangnya terbetik kabar yang unik dalam pengelolaan struktur Pemerintahan Propinsi Banten.
Banyak posisi atau jabatan strategis dalam struktur pemerintahan yang ternyata tidak sebanding dengan kualifikasi pegawai yang menjabat. Padahal pejabat karir adalah jabatan karier dari seorang pejabat struktural atau fungsional yang hanya dapat diduduki Pegawai Negeri Sipil Daerah setelah memenuhi syarat yang ditentukan. Sedangkan kewenangannya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 Tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil terdapat pada Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi, atau dalam kasus lain, justru banyak posisi yang dikosongkan karena tidak ada orang yang dianggap ‘mampu’ menduduki posisi tersebut. Sebut saja posisi Kepala Bappeda atau Kepala Dinas dan Kepala Badan Daerah lainnya. Beberapa kali pula muncul pemberitaan di media massa lokal tentang kosongnya pejabat daerah di Banten, ada yang sekedar bertanya, tapi tak jarang pula yang mengkritisi. Hal yang menarik sebenarnya adalah apakah karena Banten belum genap berusia 5 (lima) tahun, maka terdapat sekian banyak posisi jabatan strategis yang di biarkan kosong. Apakah Banten memang belum siap menjadi suatu Propinsi, karena memang tak ada yang ‘mampu’ mengurus pemerintahannya Bukankah jika situsi ini dibiarkan berlarut-larut, justru akan mengakibatkan stagnasi pemerintahan atau memang tidak ada SDM yang layak menempati posisi tersebut, sehingga dibiarkan kosong dan membuktikan tidak adanya manajemen kepegawaian di pemerintahan Provinsi Banten. Jika berkaca pada kondisi realitas yang kini terjadi, adalah banyak dilakukan ‘perangkapan jabatan’ tanpa mempergunakan pertimbangan badan yang berwenang. Di lain pihak mungkinkan seorang berperan ganda dalam suatu penugasan. Apalagi jika ditengarai integritas dan kemampuan personalnya patut dipertanyakan. Pejabat Partai VS Pejabat Daerah: Seleksi atau Eleksi Berkenaan dengan model rekruitmen, dalam konteks pemilihan Kepala Daerah prosesnya berjalan berlandaskan pada UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Disamping harus diingat bahwa jabatan kepala daerah adalah jabatan publik yang diperoleh berdasarkan political recruitmen melalui model pemilihan (elections) yang sifatnya langsung (direct). Tetapi mungkin ada ‘kesamaan’ antara metode pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah secara langsung dengan mekanisme penetapan “seseorang” menjadi pejabat di Propinsi Banten. Seorang Bakal Calon Kepala Daerah, harus mengikuti berbagai tahapan proses seleksi yang dilakukan oleh banyak pihak. Tetapi ‘Pemegang kunci’nya tetap Partai Politik. Partai politik akhirnya membuat seorang bakal calon ‘terpaksa’ menjadikannya sebagai kendaraan politik walaupun sebenarnya memiliki beragam perbedaan, baik yang berkenaan dengan idiologi, organisasi politik, latar belakang maupun orientasi personal seorang calon.
Fenomena yang kelihatannya sederhana tersebut, secara sadar atau tidak sadar telah melahirkan kembali gagasan hegemoni partai politik dalam rekruitmen pejabat publik di Indonesia, sebagaimana dulu pernah terjadi pada masa orde baru. Penetapan seorang calon dari suatu partai politik biasanya hanya dilakukan di tingkat internal pengurus. Proses yang kerap disebut ‘kocok bekem’, karena ditengarai tanpa melalui mekanisme uji publik. Walaupun pada dasarnya uji publik merupakan bentuk sederhana dari pertanggungjawaban Partai Politik terhadap konstituennya pasca Pemilihan Umum. Sedangkan yang terjadi pada model rekruitmen pejabat daerah, secara umum mengacu pada UU Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Pada tingkat teknis acuannya adalah Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 2003 Tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Berdasarkan acuan regulatif tersebut dapat dinyatakan bahwa pejabat yang berwenang mengangkat, memindah, dan memberhentikan Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi yaitu Gubernur. Kewenangan yang dimiliki Gubernur pada dasarnya merupakan implikasi dari rangkaian kerja manajerial kepegawaian. Pejabat daerah selayaknya adalah seseorang yang lahir dari hasil kaderisasi kepegawaian, yang berjenjang dan berjalan secara dinamis sejak perencanaan, pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian, kesejahteraan sampai akhirnya berakhir pada pemberhentian secara umum (pensiun). Keseluruhan proses tersebut dilakukan secara terorganisir oleh Baperjakat, suatu badan yang mewakili Gubernur melakukan pembinaan kepegawaian di daerah Akan tetapi Intensitas kinerja suatu badan pemerintahan, pada dasarnya amat tergantung pada pelaku yang menjadi pimpinan pada badan tersebut. Berkaitan pada uraian sebelumnya, Misalnya terhadap pengisian posisi beberapa ‘Kepala’ di lingkungan Pemerintahan Provinsi Banten, terkesan lamban dan tidak terukur. Seharusnya Baperjakat bersikap yang senada dengan pensikapan yang dilakukan oleh Partai Politik dan KPUD dalam tahapan pemilihan Kepala Daerah. Baperjakat melakukan proses seleksi secara ketat dan benar dengan merujuk pada ketentuan perundangan yang berlaku. sehingga menghasilkan produk yang kualitatif. Baperjakat seperti mengabaikan tupoksinya. Publik tidak pernah mendengar Baperjakat secara aktif memberikan masukan kepada Gubernur. Terkesan berdiam diri dan melepaskan tanggung jawab. Bahkan rumours yang paling radikal dalam beberapa waktu terakhir, adanya indikasi Baperjakat hanya akan melakukan proses eleksi (memilih) calon pejabat daerah. Lambatnya proses pengisian jabatan di lingkungan Pemerintah Provinsi Banten akhirnya dikhawatirkan banyak kalangan membuka peluang bagi Baperjakat menantikan deal-deal dari oknum pejabat daerah yang tengah berupaya mendapatkan atau mengamankan posisi strategisnya di Pemerintahan Provinsi Banten.
Provinsi Banten memang tengah berbenah, Ibarat seorang bayi, Si Banten ‘kecil’ kini mulai banyak aktifitas, mulai banyak membuat rencana, mulai mampu membangun cita-cita. Perubahan atas Banten kian hari kian menghebat, bahkan dengan lahirnya UU No 32 tahun 2004 yang merupakan revisi UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, justru semakin memberi ruang bagi si ‘kecil’ mengelola pemerintahan di daerah. Dapat dikatakan, bahwa tujuan pembangunan Propinsi Banten secara umum adalah mewujudkan Masyarakat Banten yang makmur dan sejahtera, berperadaban modern, demokratis, serta bermoral tinggi, dan taat hukum. Tidak bisa dipungkiri, salah satu motor penggerak utama pelaksanaan kerja-kerja pembangunan daerah adalah tersedianya aparatur penyelenggara tugas pemerintahan daerah, tentunya adalah Pegawai Negeri Sipil Daerah. Pegawai Negeri pada dasarnya adalah “Setiap Warga Negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat, yang diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”Rumors tersebut bukannya mengada-ada. Bisa ditelusuri bahwa sampai saat ini, di Propinsi Banten belum ada parameter yang dapat dijadikan ukuran, yang jelas, tegas, dan terukur menyangkut indikator kualitas kerja pegawai daerah. Apalagi sampai pada baku mutu, atau standar minimal efektifitas kinerja seorang pejabat daerah dalam capaian kualitas layanan publik. Lantas bilamana seseorang pegawai daerah di Banten dianggap telah efektif bekerja. Apa yang harus dilakukan jika pejabat daerah tersebut ternyata berperilaku yang tidak efektif. Apakah ketidakefektifan tersebut berangkat dari kesalahan manusia (Human Error), kesalahan institusional (Institusional Error) atau kesalahan kebijakan. Indikator yang dipergunakan untuk menentukan segala sesuatu di Banten ternyata serba tidak jelas, serba tidak terukur, sehingga yang muncul adalah pola pemerintahan masa orde baru. like or dislike menjadi alat ukur subyektif yang dianggap rasional. Seseorang yang lebih terampil membuat atasan ‘senang dan mapan’ maka otomatis akan sering mendapat jabatan, begitu pula sebaliknya. Maka pada akhirnya publik hanya berharap pada good will dari Kepala Pemerintah Daerah Provinsi Banten. Mungkinkah beliau melakukan proses pengisian jabatan daerah dengan cara seleksi yang benar-benar obyektif atau sebatas meneruskan tradisi eleksi untuk pejabat di lingkungan Pemprop Banten. Semoga tidak selamanya Provinsi Banten menjadi Area Tanpa Rencana. Tidak ada lagi gurauan tentang Banten sebagai Kota Tanpa Mimpi. Seleksi atau Eleksi Pejabat Daerah Oleh : Yhannu Setyawan
Sedangkan Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah Pegawai Negeri Sipil yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dan bekerja pada Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota atau dipekerjakan di luar instansi induknya. Sebagai unsur aparatur negara, Pegawai Negeri Sipil Daerah Banten harus mampu bertugas sebagai abdi masyarakat dengan memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap Masyarakat Banten. Segenap tindakannya senantiasa dilandasi kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dengan kata lain memiliki tingkat ke’digdayaan’ yang tinggi. Untuk melaksanakan penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara baik dan benar tersebut, diperlukan Pegawai Negeri Sipil yang profesional, bertanggungjawab, jujur dan adil melalui pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karir yang dititik beratkan pada sistem prestasi kerja. Baru kemudian diikuti oleh syarat obyektif lainnya seperti disiplin kerja, kesetiaan, pengabdian, pengalaman, kerjasama dan dapat dipercaya. Rekayasa pembentukan sosok Pegawai Negeri Sipil Banten yang ‘digdaya’ itu, harus diatur dengan perencanaan serta manajemen kepegawaian tingkat daerah yang terukur, sehingga mampu menjadi pegawai yang efisien, efektiv memiliki derajat tinggi dalam profesionalitas penyelenggaraan tugas, fungsi dan kewajiban kepegawaian. Manajeman dilakukan secara sistematik mulai dari perencanaan, pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian, kesejahteraan dan pemberhentian. Tentu saja pembentuk sosok PNS Daerah yang profesional itu adalah Pejabat Daerah yang karena jabatan atau tugasnya berwenang melakukan tindakan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan Pegawai Negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sayangnya terbetik kabar yang unik dalam pengelolaan struktur Pemerintahan Propinsi Banten. Banyak posisi atau jabatan strategis dalam struktur pemerintahan yang ternyata tidak sebanding dengan kualifikasi pegawai yang menjabat. Padahal pejabat karir adalah jabatan karier dari seorang pejabat struktural atau fungsional yang hanya dapat diduduki Pegawai Negeri Sipil Daerah setelah memenuhi syarat yang ditentukan. Sedangkan kewenangannya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 Tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil terdapat pada Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi, atau dalam kasus lain, justru banyak posisi yang dikosongkan karena tidak ada orang yang dianggap ‘mampu’ menduduki posisi tersebut. Sebut saja posisi Kepala Bappeda atau Kepala Dinas dan Kepala Badan Daerah lainnya. Beberapa kali pula muncul pemberitaan di media massa lokal tentang kosongnya pejabat daerah di Banten, ada yang sekedar bertanya, tapi tak jarang pula yang mengkritisi.
Hal yang menarik sebenarnya adalah apakah karena Banten belum genap berusia 5 (lima) tahun, maka terdapat sekian banyak posisi jabatan strategis yang di biarkan kosong. Apakah Banten memang belum siap menjadi suatu Propinsi, karena memang tak ada yang ‘mampu’ mengurus pemerintahannya Bukankah jika situsi ini dibiarkan berlarut-larut, justru akan mengakibatkan stagnasi pemerintahan atau memang tidak ada SDM yang layak menempati posisi tersebut, sehingga dibiarkan kosong dan membuktikan tidak adanya manajemen kepegawaian di pemerintahan Provinsi Banten. Jika berkaca pada kondisi realitas yang kini terjadi, adalah banyak dilakukan ‘perangkapan jabatan’ tanpa mempergunakan pertimbangan badan yang berwenang. Di lain pihak mungkinkan seorang berperan ganda dalam suatu penugasan. Apalagi jika ditengarai integritas dan kemampuan personalnya patut dipertanyakan. Pejabat Partai VS Pejabat Daerah: Seleksi atau Eleksi Berkenaan dengan model rekruitmen, dalam konteks pemilihan Kepala Daerah prosesnya berjalan berlandaskan pada UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Disamping harus diingat bahwa jabatan kepala daerah adalah jabatan publik yang diperoleh berdasarkan political recruitmen melalui model pemilihan (elections) yang sifatnya langsung (direct). Tetapi mungkin ada ‘kesamaan’ antara metode pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah secara langsung dengan mekanisme penetapan “seseorang” menjadi pejabat di Propinsi Banten. Seorang Bakal Calon Kepala Daerah, harus mengikuti berbagai tahapan proses seleksi yang dilakukan oleh banyak pihak. Tetapi ‘Pemegang kunci’nya tetap Partai Politik. Partai politik akhirnya membuat seorang bakal calon ‘terpaksa’ menjadikannya sebagai kendaraan politik walaupun sebenarnya memiliki beragam perbedaan, baik yang berkenaan dengan idiologi, organisasi politik, latar belakang maupun orientasi personal seorang calon. Fenomena yang kelihatannya sederhana tersebut, secara sadar atau tidak sadar telah melahirkan kembali gagasan hegemoni partai politik dalam rekruitmen pejabat publik di Indonesia, sebagaimana dulu pernah terjadi pada masa orde baru. Penetapan seorang calon dari suatu partai politik biasanya hanya dilakukan di tingkat internal pengurus. Proses yang kerap disebut ‘kocok bekem’, karena ditengarai tanpa melalui mekanisme uji publik. Walaupun pada dasarnya uji publik merupakan bentuk sederhana dari pertanggungjawaban Partai Politik terhadap konstituennya pasca Pemilihan Umum. Sedangkan yang terjadi pada model rekruitmen pejabat daerah, secara umum mengacu pada UU Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Pada tingkat teknis acuannya adalah Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 2003 Tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.
Berdasarkan acuan regulatif tersebut dapat dinyatakan bahwa pejabat yang berwenang mengangkat, memindah, dan memberhentikan Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi yaitu Gubernur. Kewenangan yang dimiliki Gubernur pada dasarnya merupakan implikasi dari rangkaian kerja manajerial kepegawaian. Pejabat daerah selayaknya adalah seseorang yang lahir dari hasil kaderisasi kepegawaian, yang berjenjang dan berjalan secara dinamis sejak perencanaan, pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian, kesejahteraan sampai akhirnya berakhir pada pemberhentian secara umum (pensiun). Keseluruhan proses tersebut dilakukan secara terorganisir oleh Baperjakat, suatu badan yang mewakili Gubernur melakukan pembinaan kepegawaian di daerah Akan tetapi Intensitas kinerja suatu badan pemerintahan, pada dasarnya amat tergantung pada pelaku yang menjadi pimpinan pada badan tersebut. Berkaitan pada uraian sebelumnya, Misalnya terhadap pengisian posisi beberapa ‘Kepala’ di lingkungan Pemerintahan Provinsi Banten, terkesan lamban dan tidak terukur. Seharusnya Baperjakat bersikap yang senada dengan pensikapan yang dilakukan oleh Partai Politik dan KPUD dalam tahapan pemilihan Kepala Daerah. Baperjakat melakukan proses seleksi secara ketat dan benar dengan merujuk pada ketentuan perundangan yang berlaku. sehingga menghasilkan produk yang kualitatif. Baperjakat seperti mengabaikan tupoksinya. Publik tidak pernah mendengar Baperjakat secara aktif memberikan masukan kepada Gubernur. Terkesan berdiam diri dan melepaskan tanggung jawab. Bahkan rumours yang paling radikal dalam beberapa waktu terakhir, adanya indikasi Baperjakat hanya akan melakukan proses eleksi (memilih) calon pejabat daerah. Lambatnya proses pengisian jabatan di lingkungan Pemerintah Provinsi Banten akhirnya dikhawatirkan banyak kalangan membuka peluang bagi Baperjakat menantikan deal-deal dari oknum pejabat daerah yang tengah berupaya mendapatkan atau mengamankan posisi strategisnya di Pemerintahan Provinsi Banten. Rumors tersebut bukannya mengada-ada. Bisa ditelusuri bahwa sampai saat ini, di Propinsi Banten belum ada parameter yang dapat dijadikan ukuran, yang jelas, tegas, dan terukur menyangkut indikator kualitas kerja pegawai daerah. Apalagi sampai pada baku mutu, atau standar minimal efektifitas kinerja seorang pejabat daerah dalam capaian kualitas layanan publik. Lantas bilamana seseorang pegawai daerah di Banten dianggap telah efektif bekerja. Apa yang harus dilakukan jika pejabat daerah tersebut ternyata berperilaku yang tidak efektif. Apakah ketidakefektifan tersebut berangkat dari kesalahan manusia (Human Error), kesalahan institusional (Institusional Error) atau kesalahan kebijakan. Indikator yang dipergunakan untuk menentukan segala sesuatu di Banten ternyata serba tidak jelas, serba tidak terukur, sehingga yang muncul adalah pola pemerintahan masa orde baru. like or dislike menjadi alat ukur subyektif yang dianggap rasional. Seseorang yang lebih terampil membuat atasan ‘senang dan mapan’ maka otomatis akan sering mendapat jabatan, begitu pula sebaliknya. Maka pada akhirnya publik hanya berharap pada good will dari Kepala Pemerintah Daerah Provinsi Banten. Mungkinkah beliau melakukan proses pengisian jabatan daerah dengan cara seleksi yang benar-benar obyektif atau sebatas meneruskan tradisi eleksi untuk pejabat di lingkungan Pemprop Banten.
Semoga tidak selamanya Provinsi Banten menjadi Area Tanpa Rencana. Tidak ada lagi gurauan tentang Banten sebagai Kota Tanpa Mimpi

ads

Ditulis Oleh : Sahabat Andalas Hari: 3/29/2010 Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar

Visitor

Website counter