Diberdayakan oleh Blogger.
Collection free widget, software, S.E.O., web development, and advertising

2 Des 2008

Menyelamatkan KPK



MENYIMAK laporan hasil survei korupsi yang baru dirilis oleh Transparency International (TI) tahun 2006 ini tentunya kita senang dan bangga. Hal ini karena, Indonesia berdasarkan data yang dikeluarkan oleh TI mengenai indeks persepsi korupsi (IPK), mendapat IPK 2,4 dan menempati urutan ke-130 dari 163 negara. Angka ini lebih baik dari tahun 2005, IPK Indonesia pada tahun 2005 mencapai 2,2 dan menempati urutan ke-137 dari 159 negara yang disurvei. Selain itu skor Indonesia tahun ini juga naik 0,2 poin dan jika dibandingkan dengan tahun 2005 lalu, peringkat Indonesia tahun ini sedikit lebih baik. Pada tahun 2005, Indonesia duduk di posisi keenam dari 158 negara paling korup di dunia, sedangkan saat ini Indonesia berada di urutan ketujuh negara paling korup di antara 163 negara. Meskipun hasil survei TI masih dirasa kurang memuaskan oleh banyak kalangan, tapi setidaknya jika dievaluasi hasil tersebut memberi secercah harapan positif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Tentunya kita semua sepakat bahwa kemajuan dan kesuksesan pemberantasan korupsi, tidak terlepas dari peran dan kontribusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Sejak awal kehadirannya, KPK telah mengundang banyak perhatian publik, banyak kalangan berharap KPK dapat menjadi solusi bagi macetnya pemberantasan korupsi yang terjadi selama ini. Follow up-nya berbagai gebrakan pun dilakukan oleh KPK sebagai upaya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Perlu diketahui, jika ditinjau dari aspek historis pemberantasan korupsi di Indonesia, KPK bukanlah lembaga atau tim pertama yang pernah dibentuk untuk memberantas korupsi di Indonesia. Sejarah mencatat sejak periode tahun 1967-2002, sudah delapan lembaga/tim pemberatasan tindak pidana korupsi pernah dibentuk sebagai upaya pemberantasan korupsi. Dulu pada masa Orde Baru (Orba) pembentukan lembaga/tim pemberantasan korupsi mulai dibentuk pertama kali pada tanggal 2 desember 1967, melalui Keppres No. 228/1967 nama Tim Pemberantas Korupsi. Lembaga/t im kedua, dibentuk melalui Keppres No. 12/1970 tertanggal 31 Januari 1970 nama tim Komisi Empat. Lembaga/tim ketiga dibentuk tahun 1970 nama tim Komite Anti Korupsi (KAK). Lembaga/tim keempat dibentuk tahun 1977 melalui Inpres No. 9/1977 nama tim OPSTIB. Lembaga/tim kelima, pada tahun 1982 Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dihidupkan lagi. Namun ironisnya keppres yang mengatur lebih lanjut mengenai tugas dan kewenangan TPK ini tidak pernah terealisasi.
Pada masa reformasi atas de­sakkan dan tekanan dari rakyat serta untuk melancarkan pemberantasan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang begitu hebat di masa pemerintahan Orba, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melaku­kan penyempurnaan atas UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya dibentuk lembaga/tim keenam, melalui Keppres No. 127 Tahun 1999, nama tim Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Lembaga/tim ketujuh dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2000 nama tim gabungan pemberantasan tindak pidana korupsi (TGTPK). Terakhir, setelah pembubaran TGTPK dibentuk lembaga/tim yang kedelapan, berdasarkan UU No.30/2002 dengan nama Komisi Pemerantasan Korupsi (KPK).
Meski saat ini banyak kalangan yang menilai kinerja KPK masih kurang memuaskan, namun jika dievaluasi secara komprehensif kinerja dari delapan lembaga yang pernah dibentuk untuk memberantas korupsi, hasil kinerja KPK sebagai lembaga yang baru "seumur jagung" dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi dapat dikatakan sudah cukup baik dan memuaskan dibandingkan tujuh lembaga sejenis yang pernah dibentuk sebelumnya. Hal ini dapat dibuktikan dari keberhasilan KPK mengungkap banyak kasus korupsi yang dilakukan pejabat negara. Banyak para pejabat negara tersebut yang akhirnya menjadi terdakwa bahkan berujung divonis penjara yang tidak ringan. Beberapa kasus korupsi pejabat negara yang berhasil dibongkar oleh KPK di antaranya, kasus korupsi pembelian helikopter yang dilakukan oleh mantan Gubernur Nanggroe Aceh Darrusalam Abdullah Puteh, kasus korupsi yang terjadi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melibatkan Ketua KPU Nazaruddin Samsyudin dan Mulyana W. Kusumah. Bahkan kinerja KPK berhasil mengungkap dan membuktikan bahwa mafia peradilan telah bergentayangan di dunia peradilan kita dengan membongkar kasus suap yang melibatkan pengacara Probosutejo, Harini Wijoso, dan pegawai Mahkamah Agung Pono Waluyo.
Ternyata, hasil kinerja KPK yang cukup berhasil dalam mengungkap kasus korupsi tidak menuai sesuatu yang positif, respons yang terjadi justru membuat para koruptor merasa gerah dan kebakaran jeng­got yang berimplikasi menimbulkan resistensi dalam bentuk serangan balik para koruptor (corruptors fight back) yang saat ini sedang menikmati masa hukumannya di "hotel prodeo". Strategi serangan balik para koruptor dilakukan secara elegan dan sistemik. Hal ini dengan tujuan agar KPK sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi macan ompong yang tidak mempunyai kekuatan. Wujudnya pada akhir Agustus yang lalu, mereka para koruptor tersebut melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan judicial review. Para pemohon melakukan upaya permohonan pengujian (judicial review) atas UU No. 30/2002 terhadap UUD 1945 kepada Mahkmah Konstitusi (MK) dengan nomor register perkara No.12/PUU-IV/2006, No.16/PUU-IV/2006, dan No. 19/PUU-IV/2006.
Dari ketiga permohonan diatas, ada enam pokok persoalan yang diajukan pemohon. Pertama, mengenai eksistensi KPK. Kedua, mengenai keberadaan pengadilan khusus (ad hoc) tindak pidana korupsi (tipikor). Ketiga, tentang implementasi asas praduga tak bersalah (presumtion of innocent) yang berkaitan dengan tidak adanya kewenangan bagi KPK mengeluarkan Surat Penghentian Penyelidikan dan Penuntutan (SP3). Keempat, keberadaan instrumen penyadapan dan perekaman. Kelima, ketentuan/aturan dan penerapan frasa "mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat" pada pasal huruf b UU KPK. Keenam, penerapan asas retroaktif pada penanganan perkara tindak pidana korupsi oleh KPK.
Jika dicermati, serangan balik para koruptor kepada KPK melalui judicial review atas UU No. 30/2002 menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran berbagai kalangan khususnya bagi kalangan yang konsen terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Karena bukan tidak mungkin akhir dari cerita serangan balik para koruptor berujung pada pembubaran KPK oleh MK. Berkaca pada pengalaman menunjukkan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK) pernah dibubarkan melalui pengujian Keppres pembentukannya di Mahkamah Agung (MA). Selain itu, MK juga tercatat dua kali mengoreksi daya "gedor" pemberantasan korupsi melalui keputusannya, yaitu menyatakan UU KPK tidak dapat berlaku surut (retroaktif) sehingga KPK tidak bisa mengusut perkara korupsi sebelum berlakunya UU KPK pada 2002, dan menyatakan delik materiil dalam pembuktian tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digunakan. Lalu persoalannya ialah langkah dan strategi apa yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan KPK dari ancaman likwidasi?
Adapun langkah dan strategi yang dapat dilakukan saat ini untuk menyelamatkan KPK yaitu, pertama, menggalang dukungan dan membangun wacana serta opini publik yang mendukung eksistensi KPK. Karena kita semua sepakat bahwa korupsi merupakan jenis kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang membutuhkan penanganan dengan cara yang non-konvensional/ abnormal. Kedua, para ahli dan guru besar yang diminta menjadi saksi ahli dalam persidangan perkara judicial review atas UU KPK dapat memberikan pandangan-pandangan yang menjustifikasi dan mendukung keberadaan dari KPK. Karena untuk melawan korupsi dibutuhkan sebuah lembaga penegak hukum yang memiliki kewenangan yang superbody seperti KPK. Kedua langkah dan strategi ini sangat urgen untuk segera dilakukan sebagai jalan keluar dalam penyelamatan KPK sebelum putusan MK ditetapkan. Selain itu, hal ini penting untuk dilakukan karena pengadilan MK adalah pengadilan opini, dan pemeriksaan di MK tidak bicara fakta yang terjadi secara nyata, tetapi berdasarkan opini dan pemikiran, serta teori-teori belaka bukan seperti pengadilan konvensional yang lebih mengutamakan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan. Terakhir, kartu truf yang dapat menyelamatkan KPK saat ini sepenuhnya berada di tangan sembilan orang hakim pengawal konstitusi.
Kita berharap semoga para hakim MK bukanlah sosok hakim seperti yang pernah dilukiskan oleh filsuf besar hukum dan ketatanegaraan Prancis Montesquieu (1689-1755) yakni hakim yang hanya menjadi terompet/corong UU (de la bouce de la loi). Tetapi hakim yang menjadi corong rasa keadilan masyarakat. Karena bagaimanapun eksistensi KPK harus dipertahankan dan diselamatkan. Jika tidak, bersiap-siaplah negeri ini akan menjadi "Surga" bagi para koruptor.***

ads

Ditulis Oleh : Sahabat Andalas Hari: 12/02/2008 Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar

Visitor

Website counter