Diberdayakan oleh Blogger.
Collection free widget, software, S.E.O., web development, and advertising

17 Mar 2010

Musim Berganti


Lamunan itu seperti menggiringku pada masa lalu. Ia menghadirkan aku pada suatu keadaan yang tidak seimbang. Aku terhimpit dengan luka di hatiku. Luka yang dalam, yang kubiarkan membusuk hingga bertahun-tahun. Sungguh mengingat kenangan itu seperti merajam perih rasa hati. Tepatnya lima tahun yang lalu, setelah tsunami melanda Aceh dan beberapa negara tetangga di Asia Tenggara. Bencana besar yang telah menggegerkan jagad raya, sekaligus peristiwa yang telah merenggut banyak nyawa, yang tidak mungkin untuk dilupa.
Diluar dugaan, semua rata dibawa gelombang besar. Tidak ada yang tersisa, kecuali rasa sedih bercampur iba yang menyayat dengan pelannya. Aku masih hafal betul alur cerita yang telah aku lakoni bersamanya. Alur cerita yang luar biasa hebatnya, sehebat gelombang itu yang telah memisahkan antara Nong, Ma, Cut, Ceh, Bang di tanah rencong.

Waktu itu awan berarak, berlahan meninggalkan mega di senja itu. Matahari pun mulai condong membenamkan diri di lautan lepas cakrawala. Begitu pula dengan para pedagang yang bergegas mengemas barang dagangannya untuk mereka bawa pulang setelah seharian lelah tawar-menawar tentang kesepakatan harga barang dagangan. Sementara di jalanan sana, ratusan kendaraan roda dua dan empat dengan berbagai merek ternama, terjebak macet, yang panjangnya sampai puluhan kilometer. Semua pengguna jalan merasa geram bercampur marah, tapi tidak tau kepada siapa kemarahan dan kegeraman itu harus mereka alamatkan.
Diantara kerumunan itu adalah anak-anak muda dengan aurat yang sengaja mereka biarkan terbuka. “Oh! sungguh tak terjaga”. Sesalku. Dengan hanya mengenakan rok mini di atas lutut dan kaus oblong tipis yang menutupi tubuh mereka alakadarnya. Buah dadanya yang putih dengan puting kecoklatan, yang seharusnya tertutup, terlihat menyempul di balik kaus oblong tipis itu. “Mungkin saja ini adalah sebuah kensengajaan.” Aku tak tau. Aku juga tidak ingin menanyakan itu pada mereka. Tidak sedikitpun rasa malu tergambar dari wajah mereka. Mereka berteriak dengan lantangnya. Teriakan itu sungguh tak berirama, hingga memekakkan telinga orang-orang yang terjebak di sana.
“Woi anjing!. Teriak mereka. cepatlah!. Maju setan…!” apa kalian tidak tau kami lagi buru-buru”. Sambil memekik. Kemudian dibalas oleh Bapak muda yang ada di depan mereka, “bajingan kalian”. Semua seperti telah kehilangan tatakrama. Akhirnya kata-kata kotorpun berterbangan kemana-mana. Sebagian ada yang jatuh menyangkut di pot bunga trotoar jalan yang dibiarkan berdebu. Karena sudah dua hari ini petugas dinas kebersihan kota mogok kerja, dengan alasan yang logis, karena sudah beberapa bulan ini gaji mereka tidak dibayarkan.
Di depan sana, lelaki paruh baya dengan wajah brewokan sengaja turun dan melampiaskan kekesalannya dengan menendang mobil yang ada di depannya. Sambil meneriakkan “bangsat kau!”. Kata laki-laki itu. Tapi tetap saja, teriakan dan kegereman mereka tidak menyelesaikan masalah. Malah yang ada justru sebaliknya. Pemilik mobil yang mobilnya tadi sengaja ditendang, lalu turun dengan muka yang merah menyala serta kepalan tinju yang siap untuk diarahkan. Dalam hitungan sepersekian detik, pukulan telak mendarat tepat di rahang kanan lelaki paruh baya itu. Seketika lelaki paruh baya itu terkapar di trotoar jalan di samping pot bunga. Semua mata memandangnya dengan kepasrahan.
“Astagfirullah!”. Ucap ku sambil mengelus dada. Tidak pernah berharap akan menyaksikan peristiwa yang tak beradab ini. “Kenapa aku harus mengambil jalan ini?”, padahal setahuku masih ada jalan alternatif yang jauh lebih nyaman dari kata-kata kotor. Kalau seperti ini aku bisa telat. Ah, sudahlah! semua sudah di depan mata, aku terlanjur terjebak macet”. Pikirku dalam hati. “Semoga saja janji bertemu di sore ini tidak akan mengecewakannya”. Lanjut ku lagi dalam hati.
Hampir disetiap sore pemandangan seperti ini bisa kita jumpai di kota ini. Entah usaha apa yang telah dilakukan pemerintah daerah dalam menyelesaikan masalah ini, sehingga kemacetan terus saja terjadi. “Ah, biarlah pemerintah yang memikirkan itu. Aku tidak mau kehabisan energi memikirkan pekerjaan yang bukan pekerjaanku”. Hatiku mengeluh.
***
Ini kali pertama di kota ini aku membuka hati untuk seorang perempuan. Berusaha untuk resfek dan jujur terhadap perasaan sendiri. Aku memberanikan diri untuk menemuinya. Perempuan yang menjadi teman baik dari temanku. Lama juga rasanya hati ini aku biarkan beku, setelah sekian lama kuputuskan berpisah dengan pacar lamaku waktu masih di SMA dulu. Padahal semenjak semester satu, ada beberapa perempuan yang secara diam-diam telah memberikan perhatian yang lebih terhadapku.
Dan ada pula yang secara terang-terangan telah mengungkapkan perasaannya padaku. Tapi entahlah, kenapa pada waktu itu aku tidak terlalu peduli dengan perasaan seperti itu. Mungkin aku minder, karena merasa tidak sepadan dengan mereka, yang datang selalu telat ke kampus karena hanya mengandalkan bus kota yang tidak pernah mau di ajak untuk tepat waktu. Atau mungkin juga karena penampilannku tidak sesuai selera anak muda waktu itu. Maklum aku tidak begitu mengerti tentang panampilan dan trend.
Diantara wanita yang telah menaruh hati itu, sepengetahuanku adalah bunga kampus. Orangnya cantik, cerdas. Ia juga memiliki tubuh yang proporsional. Kulitnya yang putih merona dengan bulu-bulu halus yang menghiasi lengan dan betisnya. Di samping itu ia juga aktif di organisasi kampus. Semua mata pasti akan terpesona bila memandangnya.
Aku harus akui ia memang modis, karena setiap busana yang ia kenakan selalu kelihatan pas dengannya. Bukan itu saja, setiap ke kampus ia selalu diantar oleh supir pribadi ayahnya. Kata teman kaliahku, ayahnya memiliki jabatan penting serta berpengaruh di kota itu. Banyak diantara teman-teman sekampusku berusaha mendekatinya, tapi ia tolak dengan halus. Mungkin karena ia tau kalau yang ada dipikiran teman-temanku hanyalah sebatas penampilan fisiknya saja.
Sialan!. Ternyata tanpa sepengetahuanku dosen kami pun ada yang berusaha mendekatinya. Lalu kenapa aku tidak ikut mendekatinya? Mungkin itulah aku. Menurutku bagian yang tersebunyi itu malah jauh lebih penting dan bernilai ketimbang sesuatu yang dengan sengaja di perlihatkan.
***
Kedua tanganku gemetar, berkeringat. Suhu badanku mendadak tak menentu, mukaku pucat pasi. Entah apa yang terjadi dengan ku. Aku juga tidak tau apa yang menjadikan aku seberani ini untuk menemuinya. Padahal sebelumnya aku dikenal teman-teman sebagai seorang pemalu dan pendiam. Tapi sore itu aku begitu berbeda dari kepribadianku biasanya. “Aneh memang!. Sungguh luar biasa perempuan itu”. Ucapku dalam hati, sambil meremas tangganku yang mulai dibasahi oleh keringat dingin. Tanpa ku sadari hatiku yang telah lama beku, berlahan mencair setelah kehadirannya.
***
Aku mulai mencari tahu tentang perempuan itu, perempuan yang membuatku jadi salah tingkah setiap kali aku mendengar namanya. Aku tau pasti kalau dia begitu akrab dengan Fandy teman sekosku. Siang itu Ia cerita banyak kepadaku tentangnya, termasuk kegemarannya dalam bermain volly. Aku begitu kagum mendengarkan cerita temanku, hingga membuat aku lupa kalau sore ini ada jadwal kuliah statistik dasar, mata kuliah yang membicarakan angka-angka yang paling dibenci teman-teman selokal, karena dosennya yang dianggap killer.
Dari cerita bersama Fandy aku mendapatkan nomor HP perempuan itu. Karena kelemahanku dalam mengingat angka-angka memaksa aku untuk mencatatnya. Aku takut lupa. Aku tidak ingin menanyakan lagi untuk kedua kalinya. Ia pasti akan menertawaiku. Aku tidak ingin hal itu terjadi.
Dengan nomor HP yang ku dapati dari Fandy temanku, aku mulai berusaha mendekatinya dengan harapan ia akan dengan senang hati menerimaku dengan kekurangan yang aku miliki. Setiap kali akan SMS, aku selalu berhati-hati dengan kata-kata yang akan ku kirimkan. Aku tidak ingin membuat hatinya tersinggung ataupun terluka. Karena biasanya perempuan kalau sudah tersinggung ia akan sulit untuk melupakannya. “Semoga saja itu tidak akan terjadi”. Harapku.
Setelah mengawali kontak lewat SMS, kami pun sepakat untuk bertemu. Ia tidak keberatan kalau aku datang ke tempat kosnya. Kosan yang didiami banyak perempuan dengan ragam tingkah laku.
Kosannya memang tidak terlalu jauh dari kosanku. Hanya berjarak beberapa hitungan rumah saja. Tapi untuk kesana kita harus melewati gang sempit pas di samping kosannya. Gang itu menjadi pilihan bagi banyak orang. Ia selalu ramai dilewati anak-anak kos disekitar sana. Karena kalau tidak lewat sana kita terpaksa harus memutar, dan itu akan memakan waktu.
Pertengahan Mei, tali cintapun terjalin membentuk jalinan kasih antara aku dan dia. Janji bertemu pun terjadwal dengan begitu rapinya. Rabu malam dan malam Minggu menjadi ruang bagi kami untuk berbagi kasih. Karena diluar jadwal itu kami hanya SMS-an, sekadar menanyakan kabar. Gaya pacaran kami pun sederhana saja. Tidak berlebihan. Tidak seperti gaya pacaran anak muda zaman sekarang, yang bisa melakukan apa saja yang mereka suka. Kami tidak ingin berlebihan, yang hanya akan menjadikan lahan dosa saja. Sumpah janji setiapun lahir dari hubungan yang sederhana itu.
***
Tidak terasa aku pun sampai di semester sepuluh. Semester yang telah meninggalkan aku jauh dari teman-teman seangkatanku. Diantara teman-temanku sudah banyak yang bekerja, dan ada pula yang telah beranak-pinak. Tentunya mereka bahagia sekali dengan keluarga tercinta. Tapi itu semua tidak membuat aku berkecil hati dan putus asa. Karena perempuan itu selalu menyemangatiku. Ia seperti memahamiku.
Dua tahun berjalan, aku resmi memperoleh gelar sarjana, setelah pemindahan jambul diwaktu acara wisuda di hotel berbintang di kota itu. Tentu ini menjadi hadiah terindah yang tunggu-tunggu semua orangtua termasuk kedua orangtuaku. Setelah sekian lama mereka telah lelah menunggu dengan doa-doa tulus mereka.
Kedua orang tuaku menatapku dengan penuh rasa haru. Matanya berka-kaca. Aku tak kuasa membiarkan mereka terlalu lama menatapku seperti itu. Aku lalu memeluk dan mencium mereka dengan rasa syukur yang berlimpah ruah, hingga menggenangi kami semua. Aku tak kuasa membendung air mata bahagia ini. Aku biarkan ia mengalir membasahi wajahku. Aku telah membuat mereka menunggu lama. “Oh tuhan, ampuni hamba”.
Namun dibalik kebahagian yang menggunung itu, hatiku dirundung risau, gundah tak karuan. Karena aku harus meninggalkannya. Meninggalkan perempuan itu. Walaupun hanya untuk sementara. Aku harus berjuang untuk masa depan ku kelak. Masa depan kami. Aku mulai menatanya dengan sekuat tenagaku. “Aku harus bekerja dan mandiri. Aku tidak ingin lagi merepotkan kedua orang tuaku.” Tekadku.
Di pagi buta yang berkabut, dengan berat hati ia melepas keberangkatanku. Ia melepas ku dengan genggaman erat tangannya. Ia seperti tidak ingin melepaskan kepergianku. Ia berusaha menyembunyikan kesedihannya, begitu juga denganku. Kami saling menatap dalam dengan air mata yang menggenang. Tidak banyak kata-kata yang terucap waktu itu. Hanya rasa sedih yang terus saja mengelilingi kami. Aku terus memandangnya, tak ku seka air mata yang terus saja menetes itu, sampai aku di bawa jauh travel menembus kabut buta yang dingin di pagi itu.
Walaupun jauh, kami masih bisa kontak. Kami saling berkirim surat, berkirim email disetiap kesempatan, sekadar memastikan keadaannya. Kami begitu bahagia menikmati anugrah yang telah diberikan oleh Nya. Waktu demi waktu kami lewati dengan penuh suka cita. Tahun berganti pun kami lalui.
***
Ku tersentak setelah mendapat SMS di sore itu “aku tunggu di tempat pertama kita bertemu, datanglah tepat waktu”. Singkat dan terlalu berat untuk aku tafsirkan. Aku tidak berkomentar saat itu. Hanya jantungku berdetak kencang seperti tabuhan sike rebana. Pikiranku menerawang jauh.
Kamipun bertemu di sebuah tempat yang ia janjikan. Tempat terindah, yang telah menjadi saksi sejarah hubungan kami. Aku lihat ayunan di halaman itu bergerak dihembus angin sore yang berdebu. Ayunan yang pernah kami naiki sewaktu mengikat janji dulu. Indahnya waktu itu.
“Aku ingin membicarakan sesuatu pada mu. Mungkin ini akan serius”. Begitu ia mengawali pembicaraan. Suasana yang tadinya biasa-biasa saja kini berubah tegang. Aku lihat air matanya mulai mengembun di wajahnya yang mendung, pertanda ada hal berat yang telah menggantung dihatinya. Lidahnya terasa kelu untuk menyampaikan sesuatu yang telah lama ia simpan itu. Aku tidak tega melihat wajahnya seperti itu. Dengan berat rasa hati, kata itu akhirnya mengalir. Air matanya yang tadinya mengembun, kini berubah menjadi rintik-rintik hujan yang membasahi kami.
“Aku akan pergi”. Ucapnya pelan. “Mungkin akan lama. Tidak usah menangis, atau mencariku lagi” Ungkapnya. Ia seperti benar-benar ingin melupakanku dan kenangan itu. Suasana kini makin membawa kami jauh dari waktu itu. “Kamu kenapa?”. Tanyaku iba. “Sudahlah kak! Aku ini hanyalah perempuan. Kakak tentunya tau bagaimana hati seorang perempuan”. Aku tidak mau sakit dikemudian hari. Karena aku tau tidak akan ada obatnya”. Mendengar kata-katanya itu sungguh membuat aku kecut.
Aku hanya menduga cincin yang melingkar di jari manisku menjadi penyebab semua itu. Ia memang agak sedikit berubah setelah melihat cincin yang melingkar di jari manisku. Tapi aku tidak mempedulikannya waktu itu. Aku menganggap itu hal yang biasa saja. Karena memang cincin itu tidak ada hubungannya dengan kebiasaan masyarakat di kampungnya. Lagian cincin itu sudah lama aku pakai jauh sebelum aku mengenalnya.
Dari luar, angin berhembus menerpa wajah kami yang mendung. Sebagian menyusup diantara pori-pori yang mulai membuka. “Kamu serius dengan ucapanmu tadi?”. Aku berusaha mempertegas keraguanku. “Iya! Aku telah memikirkannya”. Ucapnya dengan suara yang terbata-bata. Kata-katanya kini telah menjalar merasuki urat-urat sarafku, hingga melumpuhkan sebagian objektifitasku. Pikiranku mendadak kosong, jiwaku terasa sepi, sesepi langit yang enggan dihiasi bintang.
Anggrek bulan di depan rumah, yang dibulan Mei kemaren mekar, kini berjatuhan berterbangan di bawa angin, mengiringi suasana hati yang berganti galau di bulan Agustus.
Aku terpaku dengan kenangan itu di ruang ber AC di lantai dua, tempat aku biasa menerima komplen kesalahan penulisan sebuah sertifikat dan disain cover. Buzz!, begitu bunyi YM. Mataku menoleh ke arah suara itu. Diikuti dengan pesan singkat “waktunya makan siang yah”. Seketika masa lalu itu buyar, hilang bersama alunan musik Tale. Aku baru sadar kalau saat ini ada perempuan yang dengan tulus mangasihi dan memperhatikanku. Perempuan yang mengingatkan aku ketika lupa, yang bisa mengoreksiku kapan saja ketika keliru, Perempuan yang telah mengisi kekosongan hati selama ini. Sungguh luar biasa nikmat yang telah diberikan oleh tuhan. Izinkan kami untuk terus mengingat Mu.

Telanaipura 09

ads

Ditulis Oleh : Sahabat Andalas Hari: 3/17/2010 Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar

Visitor

Website counter